Selasa, 26 September 2023

Kenapa Harus Ada “Kawin Paksa” Sultra Daratan dengan Sultra Kepulauan di Pilgub Sultra?

- Minggu, 11 Juli 2021 | 17:16 WIB


JAZIRAH Sulawesi Tenggara (Sultra) terbagi atas dua kawasan yang, meskipun berbeda identitas kultur dan budayanya, selalu menjaga keharmonisan dalam keseimbangan kekuasaan. Keduanya adalah wilayah daratan yang berada di kaki kanan bagian bawah Pulau Sulawesi serta wilayah kepulauan yang terserak di sekitarnya.





Wilayah daratan dan kepulauan Sultra didiami empat kelompok suku dominan, yaitu Tolaki, Muna, Buton, dan Moronene. Kedua wilayah tersebut menjadi poros dalam pergerakan dan perubahan sosial politik di ”Bumi Anoa” itu dan menjadi pertimbangan khusus dalam setiap pembagian kue politik di Sultra.





Pada perhelatan Pilkada di Sulawesi Tenggara (Sultra) atau Pemilihan Gubernur (Pilgub), ada hal menarik yang selalu menjadikan Sultra sedikit berbeda dengan daerah lain dalam hal duet pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub). “Budaya” seperti bisa dikatakan menjadi strategi bahkan 'Hukum" atau aturan tidak tertulis. Ada dua kekuatan suara di Pilgub Sultra ini yakni Sultra daratan dan Sultra kepulauan. Jika melihat pada pilgub-pilgub sebelumnya, pasti akan disandingkan antara tokoh Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan.





Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) atau Pilgub di Sultra memang agak berbeda dengan daerah lain yakni di Sultra, pasangan selalu perpaduan secara letak geografis antara daratan dan kepulauan. Itu sudah terjadi sejak dulu dan itu sangat sulit dihindarkan. Ini sangat laku untuk dijual sehingga tidak ada pasangan yang berani berpasangan antara daratan dan daratan kemudian kepulauan dan kepulauan.





Para elit politik atau partai politik menyadari betul bahwa ada dua kekuatan suara di Pilgub Sultra ini yakni Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan. Jika melihat pada pilgub-pilgub sebelumnya, pasti akan disandingkan antara tokoh Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan. Mau calon 01 dari daratan dan 02 dari kepulauan, atau sebaliknya, itu memang ada dikotomi. Dan seperti itu dianggap pasangan ideal selama ini.





Tentunya partai politik tidak akan berani mengambil di luar pakem tersebut karena dinilai tidak ideal. Olehnya itu tokoh Sultra Kepulauan pasti akan dipasangkan dengan tokoh Sultra Daratan, begitu juga sebaliknya. Fakta sepanjang sejarah pemilihan kepala daerah, budaya pemilihan pasangan Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan ini menjadi bagian dari pemilihan strategi dalam hal pemenangan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Sulawesi Tenggara. Jika calon gubernurnya berasal dari Sultra Daratan.
Saya menyebut ini dengan istilah “Kawin Paksa” dalam artian bahwa, tanpa perlu pikir panjang, hal semacam ini sudah tidak bisa dibantah lagi dan seolah ada pengumuman besar yang terpatri dalam nalar setiap elit dan masyarakat bahwa jangan coba-coba keluar dari pakem ini!





Habitus dan Doksa dalam “Kawin Paksa” di Pilgub Sultra


Halaman:

Editor: Redaksi Publiksatu / Rudi

Tags

Terkini

Berikan Keadilan Untuk Hariasi

Selasa, 18 April 2023 | 16:13 WIB

Aktivis dan Penyelenggara Pemilu

Minggu, 12 Maret 2023 | 20:23 WIB

Tantangan Penyelenggara dan Problematika Pemilu 2024

Selasa, 28 Februari 2023 | 19:17 WIB

Dukung Gagasan Melayani Tanpa Sekat

Kamis, 23 Februari 2023 | 13:34 WIB

Melawan Politik Uang Dalam Pemilu 2024

Senin, 6 Februari 2023 | 20:38 WIB

PERLUKAH PASIEN DIRAWAT SAMPAI SEMBUH?

Kamis, 12 Januari 2023 | 07:00 WIB

Best Practice : Pembelajaran Inovatif di Era Digital

Minggu, 27 November 2022 | 20:45 WIB

Polemik Pengangkatan Sekretaris DPRD Kabupaten Muna

Senin, 17 Oktober 2022 | 20:15 WIB

Jokowi dan Baju Buton

Rabu, 17 Agustus 2022 | 11:46 WIB

Era Monie

Sabtu, 28 Mei 2022 | 12:22 WIB

ASPAL BUTON MILIK ORANG BUTON?

Senin, 10 Januari 2022 | 19:19 WIB
X